Minggu, 25 Desember 2011

Biografi Al-Hafidz ibnu Hajar Al-Asqalani




Pada akhir abad kedelapan hijriah dan pertengahan abad kesembilan hijriah termasuk masa keemasan para ulama dan terbesar bagi perkembangan madrasah, perpustakaan dan halaqah ilmu, walaupun terjadi keguncangan sosial politik. Hal ini karena para penguasa dikala itu memberikan perhatian besar dengan mengembangkan madrasah-madrasah, perpustakaan dan memotivasi ulama serta mendukung mereka dengan harta dan jabatan kedudukan. Semua ini menjadi sebab berlombanya para ulama dalam menyebarkan ilmu dengan pengajaran dan menulis karya ilmiah dalam beragam bidang keilmuan. Pada masa demikian ini muncullah seorang ulama besar yang namanya harum hingga kini Al-Haafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Berikut biografi singkat beliau:
Nama dan Nashab
Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Asqalani Al-Mishri. (Lihat Nazhm Al-‘Uqiyaan Fi A’yaan Al-A’yaan, karya As-Suyuthi hal 45)
Gelar dan Kunyah Beliau
Beliau seorang ulama besar madzhab Syafi’i, digelari dengan ketua para qadhisyaikhul islam, hafizh Al-Muthlaq (seorang hafizh secara mutlak), amirul mukminin dalam bidang hadist dan dijuluki syihabuddindengan nama pangilan (kunyah-nya) adalah Abu Al-Fadhl. Beliau juga dikenal dengan nama Abul Hasan Alidan lebih terkenal dengan nama Ibnu Hajar Nuruddin Asy-Syafi’i. Guru beliau, Burhanuddin Ibrahim Al-Abnasi memberinya nama At-Taufiq dan sang penjaga tahqiq.
Kelahirannya
Beliau dilahirkan tanggal 12 Sya’ban tahun 773 Hijriah dipinggiran sungai Nil di Mesir kuno. Tempat tersebut dekat dengan Dar An-Nuhas dekat masjid Al-Jadid. (Lihat Adh-Dahu’ Al-Laami’ karya imam As-Sakhaawi 2/36 no. 104 dan Al-badr At-Thaali’ karya Asy-Syaukani 1/87 no. 51).
Sifat beliau
Ibnu Hajar adalah seorang yang mempunyai tinggi badan sedang berkulit putih, mukanya bercahaya, bentuk tubuhnya indah, berseri-seri mukanya, lebat jenggotnya, dan berwarna putih serta pendek kumisnya. Dia adalah seorang yang pendengaran dan penglihatan sehat, kuat dan utuh giginya, kecil mulutnya, kuat tubuhnya, bercita-cita tinggi, kurus badannya, fasih lisannya, lirih suaranya, sangat cerdas, pandai, pintar bersyair dan menjadi pemimpin dimasanya.
Pertumbuhan dan belajarnya
Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim, ayah beliau meninggal ketika ia berumur 4 tahun dan ibunya meninggal ketika ia masih balita. Ayah beliau meninggal pada bulam rajab 777 H. setelah berhaji dan mengunjungi Baitulmaqdis dan tinggal di dua tempat tersebut. Waktu itu Ibnu Hajar ikut bersama ayahnya. Setelah ayahnya meninggal beliau ikut dan diasuh oleh Az-Zaki Al-Kharubi (kakak tertua ibnu Hajar) sampai sang pengasuh meninggal. Hal itu karena sebelum meninggal, sang ayah berwasiat kepada anak tertuanya yaitu saudagar kaya bernama Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad Al-Kharubi (wafat tahun 787 H.) untuk menanggung dan membantu adik-adiknya. Begitu juga sang ayah berwasiat kepada syaikh Syamsuddin Ibnu Al-Qaththan (wafat tahun 813 H.) karena kedekatannya dengan Ibnu Hajar kecil.
Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu yang menjaga iffah (menjaga diri dari dosa), sangat berhati-hati, dan mandiri dibawah kepengasuhan kedua orang tersebut. Zaakiyuddin Abu Bakar Al-Kharubi memberikan perhatian yang luar biasa dalam memelihara dan memperhatikan serta mengajari beliau. Dia selalu membawa Ibnu Hajar ketika mengunjungi dan tinggal di Makkah hingga ia meninggal dunia tahun 787 H.
Pada usia lima tahun Ibnu Hajar masuk Al-Maktab (semacam TPA sekarang) untuk menghafal Alquran, di sana ada seorang guru yang bernama Syamsuddin bin Al-Alaf yang saat itu menjadi gubernur Mesir dan juga Syamsuddin Al-Athrusy. Akan tetapi, ibnu Hajar belum berhasil menghafal Alquran sampai beliau diajar oleh seorang ahli fakih dan pengajar sejati yaitu Shadruddin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi Al Muqri’. Kepada beliau ini lah akhirnya ibnu Hajar dapat mengkhatamkan hafalan Alqurannya ketika berumur sembilan tahun.
Ketika Ibnu Hajar berumur 12 tahun ia ditunjuk sebagai imam shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Ketika sang pengasuh berhaji pada tahun 784 H. Ibnu Hajar menyertainya sampai tahun 786 H. hingga kembali bersama Al-Kharubi ke Mesir. Setelah kembali ke Mesir pada tahun 786 H. Ibnu Hajar benAr-benar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, hingga ia hafal beberapa kitab-kitab induk sepertiAl-‘Umdah Al-Ahkaam karya Abdulghani Al-Maqdisi, Al-Alfiyah fi Ulum Al-Hadits karya guru beliau Al-HaafizhAl-Iraqi, Al-Haawi Ash-Shaghi karya Al-Qazwinir, Mukhtashar ibnu Al-Haajib fi Al-Ushul dan Mulhatu Al-I’robserta yang lainnya.
Pertama kali ia diberikan kesenangan meneliti kitab-kitab sejarah (tarikh) lalu banyak hafal nama-nama perawi dan keadaannya. Kemudian meneliti bidang sastra Arab dari tahun 792 H. dan menjadi pakar dalam syair.
Kemudian diberi kesenangan menuntut hadits dan dimulai sejak tahun 793 H. namun beliau belum konsentrasi penuh dalam ilmu ini kecuali pada tahun 796 H. Diwaktu itulah beliau konsentrasi penuh untuk mencari hadits dan ilmunya.
Saat ketidakpuasan dengan apa yang didapatkan akhirnya Ibnu Hajar bertemu dengan Al-Hafizh Al-Iraqi yaitu seorang syaikh besar yang terkenal sebagai ahli fikih, orang yang paling tahu tentang madzhab Syafi’i. Disamping itu ia seorang yang sempurna dalam penguasaan tafsir, hadist dan bahasa Arab. Ibnu Hajar menyertai sang guru selama sepuluh tahun. Dan dalam sepuluh tahun ini Ibnu Hajar menyelinginya dengan perjalanan ke Syam dan yang lainnya. Ditangan syaikh inilah Ibnu Hajar berkembang menjadi seorang ulama sejati dan menjadi orang pertama yang diberi izin Al-Iraqi untuk mengajarkan hadits. Sang guru memberikan gelar Ibnu Hajar dengan Al-Hafizh dan sangat dimuliakannya. Adapun setelah sang guru meninggal dia belajar dengan guru kedua yaitu Nuruddin Al-Haitsami, ada juga guru lain beliau yaitu Imam Muhibbuddin Muhammad bin Yahya bin Al-Wahdawaih melihat keseriusan Ibnu Hajar dalam mempelajari hadits, ia memberi saran untuk perlu juga mempelajari fikih karena orang akan membutuhkan ilmu itu dan menurut prediksinya ulama didaerah tersebut akan habis sehingga Ibnu Hajar amat diperlukan.
Imam Ibnu Hajar juga melakukan rihlah (perjalanan tholabul ilmi) ke negeri Syam, Hijaz dan Yaman dan ilmunya matang dalam usia muda himgga mayoritas ulama dizaman beliau mengizinkan beliau untuk berfatwa dan mengajar.
Beliau mengajar di Markaz Ilmiah yang banyak diantaranya mengajar tafsir di Al-madrasah Al-Husainiyah dan Al-Manshuriyah, mengajar hadits di Madaaris Al-Babrisiyah, Az-Zainiyah dan Asy-Syaikhuniyah dan lainnya. Membuka majlis Tasmi’ Al-hadits di Al-Mahmudiyah serta mengajarkan fikih di Al-Muayyudiyah dan selainnya.
Beliau juga memegang masyikhakh (semacam kepala para Syeikh) di Al-Madrasah Al-Baibrisiyah dan madrasah lainnya (Lihat Ad-Dhau’ Al-Laami’ 2/39).
Para Guru Beliau
Al-Hafizh Ibnu Hajar sangat memperhatikan para gurunya dengan menyebut nama-nama mereka dalam banyak karya-karya ilmiahnya. Beliau menyebut nama-nama mereka dalam dua kitab, yaitu:
  1. Al-Mu’jam Al-Muassis lil Mu’jam Al-Mufahris.
  2. Al-Mu’jam Al-Mufahris.
Imam As-Sakhaawi membagi guru beliau menjadi tiga klasifikasi:
  1. Guru yang beliau dengar hadits darinya walaupun hanya satu hadits.
  2. Guru yang memberikan ijazah kepada beliau.
  3. Guru yang beliau ambil ilmunya secara mudzkarah atau mendengar darinya khutbah atau karya ilmiahnya.
Guru beliau mencapai lebih dari 640an orang, sedangkan Ibnu Khalil Ad-Dimasyqi dalam kitab Jumaan Ad-Durar membagi para guru beliau dalam tiga bagian juga dan menyampaikan jumlahnya 639 orang.
Dalam kesempatan ini kami hanya menyampaikan beberapa saja dari mereka  yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan keilmuan beliau agar tidak terlalu panjang biografi beliau ini.
Diantara para guru beliau tersebut adalah:
I.  Bidang keilmuan Al-Qira’aat (ilmu Alquran):
Syeikh Ibrahim bin Ahmad bin Abdulwahid bin Abdulmu`min bin ‘Ulwaan At-Tanukhi Al-Ba’li Ad-Dimasyqi (wafat tahun 800 H.) dikenal dengan Burhanuddin Asy-Syaami. Ibnu Hajar belajar dan membaca langsung kepada beliau sebagian Alquran, kitab Asy-SyathibiyahShahih Al-Bukhari dan sebagian musnad dan Juz Al-Hadits. Syeikh Burhanuddin ini memberikan izin kepada Ibnu Hajar dalam fatwa dan pengajaran pada tahun 796 H.
II.  Bidang ilmu Fikih:
  1. Syeikh Abu Hafsh Sirajuddin Umar bin Ruslaan bin Nushair bin Shalih Al-Kinaani Al-‘Asqalani Al-Bulqini  Al-Mishri (wafat tahun 805 H) seorang mujtahid, haafizh dan seorang ulama besar. Beliau memiliki karya ilmiah, diantaranya: Mahaasin Al-Ish-thilaah Fi Al-Mushtholah dan Hawasyi ‘ala Ar-Raudhah serta lainnya.
  2. Syeikh Umar bin Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdillah Al-Anshari Al-Andalusi Al-Mishri (wafat tahun 804 H) dikenal dengan Ibnu Al-Mulaqqin. Beliau orang yang terbanyak karya ilmiahnya dizaman tersebut. Diantara karya beliau: Al-I’laam Bi Fawaa`id ‘Umdah Al-Ahkam (dicetak dalam 11 jilid) dan Takhrij ahaadits Ar-Raafi’i (dicetak dalam 6 jilid) dan Syarah Shahih Al-Bukhari dalam 20 jilid.
  3. Burhanuddin Abu Muhammad Ibrahim bin Musa bin Ayub Ibnu Abnaasi  (725-782 ).
III.   Bidang ilmu Ushul Al-Fikih :
Syeikh Izzuddin Muhammad bin Abu bakar bin Abdulaziz bin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah Al-Kinaani Al-Hamwi Al-Mishri (Wafat tahun 819 H.) dikenal dengan Ibnu Jama’ah seorang faqih, ushuli, Muhaddits, ahli kalam, sastrawan dan ahli nahwu. Ibnu Hajar Mulazamah kepada beliau dari tahun 790 H. sampai 819 H.
IV.  Bidang ilmu Sastra Arab :
  1. Majduddin Abu Thaahir Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar  Asy-Syairazi Al-Fairuzabadi (729-827 H.). seorang ulama pakar satra Arab yang paling terkenal dimasa itu.
  2. Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin Abdurrazaaq Al-Ghumaari 9720 -802 H.).
V.  Bidang hadits dan ilmunya:
  1. Zainuddin Abdurrahim bin Al-Husein bin Abdurrahman bin Abu bakar bin Ibrahim Al-Mahraani Al-Iraqi (725-806 H. ).
  2. Nuruddin abul Hasan Ali bin Abu Bakar bin Sulaimanbin Abu Bakar bin Umar bin Shalih Al-Haitsami (735 -807 H.).
Selain beberapa yang telah disebutkan di atas, guru-guru Ibnu Hajar, antara lain:
  • Al-Iraqi, seorang yang paling banyak menguasai bidang hadits dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hadits.
  • Al-Haitsami, seorang yang paling hafal tentang matan-matan.
  • Al-Ghimari, seorang yang banyak tahu tentang bahasa Arab dan berhubungan dengan bahasa Arab.
  • A-Muhib bin Hisyam, seorang yang cerdas.
  • Al-Ghifari, seorang yang hebat hafalannya.
  • Al-Abnasi, seorang yang terkenal kehebatannya dalam mengajar dan memahamkan orang lain.
  • Al-Izzu bin Jamaah, seorang yang banyak menguasai beragam bidang ilmu.
  • At-Tanukhi, seorang yang terkenal dengan qira’atnya dan ketinggian sanadnya dalam qira’at.
Murid Beliau
Kedudukan dan ilmu beliau yang sangat luas dan dalam tentunya menjadi perhatian para penuntut ilmu dari segala penjuru dunia. Mereka berlomba-lomba mengarungi lautan dan daratan untuk dapat mengambil ilmu dari sang ulama ini. Oleh karena itu tercatat lebih dari lima ratus murid beliau sebagaimana disampaikan murid beliau imam As-Sakhawi.
Diantara murid beliau yang terkenal adalah:
  1. Syeikh Ibrahim bin Ali bin Asy-Syeikh bin Burhanuddin bin Zhahiirah Al-Makki Asy-Syafi’i (wafat tahun 891 H.).
  2. Syeikh Ahmad bin Utsmaan bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdillah Al-Karmaani Al-hanafi (wafat tahun 835 H.) dikenal dengan Syihabuddin Abul Fathi Al-Kalutaani seorang Muhaddits.
  3. Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hasan Al-Anshari Al-Khazraji (wafat tahun 875 H.) yang dikenal dengan Al-Hijaazi.
  4. Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari wafat tahun 926 H.
  5. Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abu bakar bin Utsmaan As-Sakhaawi Asy-Syafi’i wafat tahun 902 H.
  6. Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdullah bin Fahd Al-Hasyimi Al-‘Alawi Al-Makki  wafat tahun 871 H.
  7. Burhanuddin Al-Baqa’i, penulis kitab Nuzhum Ad-Dhurar fi Tanasub Al-Ayi wa As-Suwar.
  8. Ibnu Al-Haidhari.
  9. At-Tafi bin Fahd Al-Makki.
  10. Al-Kamal bin Al-Hamam Al-Hanafi.
  11. Qasim bin Quthlubugha.
  12. Ibnu Taghri Bardi, penulis kitab Al-Manhal Ash-Shafi.
  13. Ibnu Quzni.
  14. Abul Fadhl bin Asy-Syihnah.
  15. Al-Muhib Al-Bakri.
  16. Ibnu Ash-Shairafi.

Menjadi Qadhi
Wafatnya
Setelah melalui masa-masa kehidupan yang penuh dengan kegiatan ilmiah dalam khidmah kepada ilmu dan berjihad menyebarkannya dengan beragam sarana yang ada. Ibnu Hajar jatuh sakit dirumahnya setelah ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai qadhi pada tanggal 25 Jamadal Akhir tahun 852 H. Dia adalah seorang yang selalu sibuk dengan mengarang dan mendatangi majelis-majelis taklim hingga pertama kali penyakit itu menjangkit yaitu pada bulan Dzulqa’dah tahun 852 H. Ketika ia sakit yang membawanya meninggal, ia berkata, “Ya Allah, bolehlah engkau tidak memberikanku kesehatan, tetapi janganlah engkau tidak memberikanku pengampunan.” Beliau berusaha menyembunyikan penyakitnya dan tetap menunaikan kewajibannya mengajar dan membacakan imla. Namun penyakit tersebut semakin bertambah parah sehingga para tabib dan penguasa (umara) serta para Qadhi bolak balik menjenguk beliau. Sakit ini berlangsung lebih dari satu bulan kemudian beliau terkena diare yang sangat parah dengan mengeluarkan darah. Imam As-Sakhaawi berkata, “Saya mengira Allah telah memuliakan beliau dengan mati syahid, karena penyakit tha’un telah muncul.  Kemudian pada malam sabtu tanggal 18 Dzulhijjah tahun 852 H. berselang dua jam setelah shalat isya’, orang-orang dan para sahabatnya berkerumun didekatnya menyaksikan hadirnya sakaratul maut.”
Hari itu adalah hari musibah yang sangat besar. Orang-orang menangisi kepergiannya sampai-sampai orang nonmuslim pun ikut meratapi kematian beliau. Pada hari itu pasar-pasar ditutup demi menyertai kepergiannya. Para pelayat yang datang pun sampai-sampai tidak dapat dihitung. Semua para pembesar dan pejabat kerajaan saat itu datang melayat dan bersama masyarakat yang banyak sekali menshalatkan jenazah beliau. Diperkirakan orang yang menshalatkan beliau lebih dari 50.000 orang dan Amirul Mukmininkhalifah Al-Abbasiah mempersilahkan Al-Bulqini untuk menyalati Ibnu Hajar di Ar-Ramilah di luar kota Kairo. Jenazah beliau kemudian dipindah ke Al-Qarafah Ash-Shughra untuk dikubur di pekuburan Bani Al-Kharrubi yang berhadapan dengan masjid Ad-Dailami di antara makam Imam Syafi’i dengan Syaikh Muslim As-Silmi.
Sanjungan Para Ulama Terhadapnya
Al-Hafizh As-Sakhawi berkata, “Adapun pujian para ulama terhadapnya, ketahuilah pujian mereka tidak dapat dihitung. Mereka memberikan pujian yang tak terkira jumlahnya, namun saya berusaha untuk menyebutkan sebagiannya sesuai dengan kemampuan.”
Al-Iraqi berkata, “Ia adalah syaikh, yang alim, yang sempurna, yang mulia, yang seorang muhhadits (ahli hadist), yang banyak memberikan manfaat, yang agung, seorang Al-Hafizh, yang sangat bertakwa, yangdhabit (dapat dipercaya perkataannya), yang tsiqah, yang amanah, Syihabudin Ahmad Abdul Fadhl bin Asy-SyaikhAl-Imam, Al-Alim, Al-Auhad, Al-Marhum Nurudin, yang kumpul kepadanya para perawi dan syaikh-syaikh, yang pandai dalam nasikh dan mansukh, yang menguasai Al-Muwafaqat dan Al-Abdal, yang dapat membedakan antara rawi-rawi yang tsiqah dan dhaif, yang banyak menemui para ahli hadits,dan yang banyak ilmunya dalam waktu yang relatif pendek.” Dan masih banyak lagi Ulama yang memuji dia, dengan kepandaian Ibnu Hajar.
Karya Ilmiah Beliau.
Al-Haafizh ibnu Hajar telah menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dan menyebarkannya dengan lisan, amalan dan tulisan. Beliau telah memberikan jasa besar bagi perkembangan beraneka ragam bidang keilmuan untuk umat ini.
Murid beliau yang ternama imam As-Sakhaawi dalam kitab Ad-Dhiya’ Al-Laami’ menjelaskan bahwa karya tulis beliau mencapai lebih dari 150 karya, sedangkan dalam kitab Al-Jawaahir wad-Durar disampaikan lebih dari 270 karya.
Tulisan-tulisan Ibnu Hajar, antara lain:
  • Ithaf Al-Mahrah bi Athraf Al-Asyrah.
  • An-Nukat Azh-Zhiraf ala Al-Athraf.
  • Ta’rif Ahli At-Taqdis bi Maratib Al-Maushufin bi At-Tadlis (Thaqabat Al-Mudallisin).
  • Taghliq At-Ta’liq.
  • At-Tamyiz fi Takhrij Ahadits Syarh Al-Wajiz (At-Talkhis Al-Habir).
  • Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah.
  • Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari.
  • Al-Qaul Al-Musaddad fi Adz-Dzabbi an Musnad Al-Imam Ahmad.
  • Al-Kafi Asy-Syafi fi Takhrij Ahadits Al-Kasyyaf.
  • Mukhtashar At-Targhib wa At-Tarhib.
  • Al-Mathalib Al-Aliyah bi Zawaid Al-Masanid Ats-Tsamaniyah.
  • Nukhbah Al-Fikri fi Mushthalah Ahli Al-Atsar.
  • Nuzhah An-Nazhar fi Taudhih Nukhbah Al-Fikr.
  • Komentar dan kritik atas kitab Ulum Hadits karya Ibnu As-Shalah.
  • Hadyu As-Sari Muqqadimah Fath Al-Bari.
  • Tabshir Al-Muntabash bi Tahrir Al-Musytabah.
  • Ta’jil Al-Manfaah bi Zawaid Rijal Al-Aimmah Al-Arba’ah.
  • Taqrib At-Tahdzib.
  • Tahdzib At-Tahdzib.
  • Lisan Al-Mizan.
  • Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah.
  • Inba’ Al-Ghamar bi Inba’ Al-Umur.
  • Ad-Durar Al-Kaminah fi A’yan Al-Miah Ats-Tsaminah.
  • Raf’ul Ishri ‘an Qudhat Mishra.
  • Bulughul Maram min Adillah Al-Ahkam.
  • Quwwatul Hujjaj fi Umum Al-Maghfirah Al-Hujjaj.
Referensi:
  1. Muqaddimah kitab an-Nukaat ‘Ala ibni ash-Shalaah oleh Syeikh Prof. DR. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali.
  2. Muqaddimah kitab Subul As-Salaam.
Penulis Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Jumat, 23 Desember 2011

Pengertian, Akhlak ,dan Budi Pekerti Ahlussunnah Wal Jama'ah


Berikut  ini  Pengertian, akhlak  . dan Budi Pekerti Ahlussunnah Wal Jama'ah

Makna   Ahlussunnah Wal  Jama'ah


Oleh: al-Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawas


Dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa umat Islam terpecah menjadi 73 kelompok dan hanya satu kelompok yang dipastikan selamat dan jaya di dunia dan akhirat. Para ulama kita sepakat bahwa satu kelompok yang dijamin selamat tersebut adalah kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun seiring waktu, hakikat Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi semakin pudar dan asing, bahkan bertolak belakang dengan paham keumuman. Tulisan ini mencoba menuntun Anda dalam memaknai Hakikat Ahlussunnah wal Jama’ah
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH ialah: Mereka  yang  menempuh seperti apa yang  pernah ditempuh oleh Rasulullah ‘Alaihi Asholatu wa Sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu Ajma’in. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu Ajma’in.
As-Sunnah menurut bahasa adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk [Lisanul ‘Arab: VI/399]
Sedangkan menurut ulama ‘aqidah, as-Sunnah adalah petun-juk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah as-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengiku-tinya akan dipuji dan orang-orang yang menyalahinya akan dicela. [Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah, hal. 16]
Pengertian as-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).” [Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab]
Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haq/kebenaran, tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah. [Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah]
Jama’ah menurut ulama ‘aqidah adalah generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan Shahabat, Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran.[Syarah Khalil Hirras, hal. 61.]
Kata Imam Abu Syammah as-Syafi’i Rahimahullah (wafat th. 665 H):“Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya ialah ber-pegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu:
“Artinya : Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.” [Syarah Ushuulil I’tiqaad karya al-Laalika-iy no. 160.]

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mem-punyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.

AKHLAK DAN BUDI PEKERTI AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
Ahlus Sunnah wal Jama'ah selalu memperindah diri mereka dengan akhlaqul karimah dan budi pekerti yang mulia yang merupakan penyempurna akidah. Dan di antara buahnya adalah:

1. Selalu beramar ma'ruf dan nahi munkar, sebagaimana Allah Subhanahu waTa’ala ungkapkan tentang mereka, seraya berfirman,Artinya:"Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk umat manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran dan kamu beriman kepada Allah." (Ali Imran: 110).

Ma'ruf adalah sebutan untuk segala sesuatu yang dicintai oleh Allah Subhanahu waTa’ala, seperti iman dan amal shalih. Sedangkan Munkar (kemungkaran) adalah sebutan untuk segala sesuatu yang tidak disukai Allah Subhanahu waTa’ala dan dicegahNya, berdasarkan bimbingan syariat agama, yaitu dengan tangan, lalu dengan lisan dan kemudian dengan hati sesuai dengan kemampuan dan maslahat. Ini tentu sangat berbeda dengan sekte Mu'tazilah yang berpandangan bahwa amar ma'ruf dannahi munkar itu adalah keluar (membelot dan menentang) dari para pemimpin (pemerintah).

2. Ahlus Sunnah berpandangan: melaksanakan ibadah Haji, shalat Jum'at dan shalat 'Id itu harus dilaksanakan bersama para umara', apakah mereka sebagai orang shalih ataupun sebagai orang fajir; dan mereka berkeyakinan bahwa kewajiban penegakkan syi'ar ini (amar ma'ruf dan nahi munkar) dilakukan bersama aparat pemerintah kaum muslimin, shalih ataupun fajir, apakah mereka adalah orang-orang yang shalih konsisten kepada din(agama) maupun fasik yang kefasikannya tidak sampai menyebabkan keluarnya dari Islam, (yang demikian itu) demi persatuan dan menghindari perpecahan dan perselisihan, dan juga karena pemimpin yang fasik itu tidak boleh diturunkan dari jabatannya karena kefasikannya dan tidak boleh membangkang terhadap dia, sebab akan berakibat hilangnya hak-hak dan pertumpahan darah.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Hampir tidak ada suatu kelompok yang membangkang terhadap pemimpin (penguasa) melainkan pembangkangannya itu menimbulkan kerusakan lebih besar dari pada upaya pelengserannya. Sedangkan Ahlu Bid'ah berpandangan, para penguasa wajib diperangi dan ditentang (khuruj) apabila mereka melakukan kezhaliman atau telah diduga melakukan kezhaliman. Mereka berpandangan demikian sebagai wujud dari amar ma'ruf dan nahi munkar.

3. Di antara ciri Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah mereka selalu memelihara jamaah, melaksanakan shalat wajib secara berjamaah (di masjid), melaksanakan shalat Jum'at dan lain-lain, sebab hal-hal tersebut merupakan syi'ar-syi'ar Islam yang paling agung, ketaatan kepada Allah Subhanahu waTa’ala dan RasulNya.

4. Mereka selalu memberikan nasihat kepada umat, karena mereka memandang nasihat merupakan bagian dari Dinul Islam. Nasihat adalah keinginan tercapainya kebaikan bagi yang diberi nasihat dan membimbingnya menuju kemaslahatannya. Jadi, Ahlus sunnah wal Jama'ah selalu menghendaki kebaikan bagi umat dan membimbing mereka menuju apa yang menjadi maslahat baginya.

5. Termasuk ciri dan sifat Ahlus sunnah adalah saling tolong menolong di dalam kebajikan dan berempati (kasihan) terhadap penderitaan orang lain sesama mereka. Mereka benar-benar meyakini makna sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam,
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، وَيُشْبِكُ بَيْنَ أَصَابِعِه.ِ
"Seorang mukmin terhadap saudara mukmin lainnya adalah bagaikan satu bangunan yang sebagiannya menguatkan bagian yang lain." (Beliau bersabda) sambil merangkai jari-jari tangan beliau yang satu kepada jari-jari tangannya yang lain." (Muttafaq alaih).
Sabda beliau juga,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فيِ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ اْلوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ.
"Perumpamaan kaum mukminin di dalam saling cinta-mencintai, sayang menyayangi dan saling tenggang rasa adalah bagaikan tubuh yang satu, apabila satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh turut merasakan sakit dan tidak bisa tidur."(Muttafaq alaih).

6. Ciri Ahlus Sunnah juga adalah keteguhan pendirian di dalam berbagai cobaan, mereka menyuruh bersabar di kala mendapat cobaan, bersyukur di saat lapang dan ridha terhadap pahitnya ketentuan Allah Subhanahu waTa’ala.
Sabar ketika mendapat cobaan adalah menahan diri dari rasa sedih, menahan lisan dari keluhan dan rasa tidak rela, menahan anggota tubuh (tangan) dari perbuatan (jahiliyah, seperti) memukul-mukul pipi dan merobek-robek baju di bagian dada.
-Bala' adalah cobaan berupa musibah dan kesengsaraan.
-Bersyukur di saat lapang, artinya, menggunakan nikmat yang dikaruniakan AllahSubhanahu waTa’ala pada jalan ketaatan kepadaNya.
-Kelapangan yang dimaksud adalah berlimpahruahnya kenikmatan.
-Ridha terhadap getirnya Qadha' (ketetapan) Allah Subhanahu waTa’ala. Artinya, kita tidak murka dan murung karenanya.
-Qadha' artinya kehendak Allah Subhanahu waTa’ala yang berhubungan dengan segala sesuatu sebagaimana adanya.
-Murr al-Qadha' (getirnya ketetapan), artinya segala sesuatu yang tidak disukai yang menimpa pada seseorang, seperti sakit, kemiskinan, gangguan orang lain, panas, dingin dan bencana-bencana lainnya.

7. Ahlus Sunnah sangat memperhatikan akhlaqul Karimah. Mereka mempercantik diri dengan akhlak mulia dan mengajak orang lain untuk berakhlak mulia. Mereka mengajak kepada amal-amal yang terbaik, seperti keberanian, kejujuran dan amanah. Mereka sangat meyakini sabda Rasulullah Subhanahu waTa’ala,
أَكْمَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
"Orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya." (Diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, "Hasan Shahih.")

Mereka benar-benar meyakini hadits tersebut dan mengamalkan kandungannya.
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا artinya: yang lebih lembut, lebih ramah dan lebih indah akhlaknya.
Ahlus Sunnah mengajak untuk bermuamalat (bergaul) dengan sesama manusia dengan cara yang terbaik, memberikan hak-hak kepada pemiliknya, dan mereka juga melarang sifat-sifat tercela, seperti sombong (takabbur) dan mengganggu orang lain. Mereka menyerukan kepada anda agar menjalin silaturahmi dengan orang yang memutus hubungan dengan anda. Maksudnya adalah berlaku baik terhadap orang yang berlaku buruk kepada anda; memberi kepada orang yang bakhil kepada anda. Anda keluarkan pemberian, berupa pemberian sukarela, hadiah dan lain-lain, kepada orang pelit terhadap anda. Perbuatan seperti itu termasuk ihsan; dan anda juga memaafkan orang yang menzhalimi anda, baik pada harta, darah ataupun kehormatan, karena sikap seperti itu dapat menimbulkan rasa cinta kasih dari pelaku kezhaliman itu dan mendatangkan pahala dari Allah Subhanahu waTa’ala.

Ahlus Sunnah memerintahkan apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu waTa’ala, seperti memberikan hak kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka mengajak untuk berbakti kepada ibu dan bapak (kedua orang tua) dengan cara patuh kepada mereka di dalam masalah yang tidak berupa kemaksiatan, berbuat baik kepada mereka dalam bentuk ucapan dan perbuatan; bersilaturrahmi, yakni berbuat baik kepada kaum kerabat dekat, baik terhadap tetangga dengan mengorbankan kebaikan dan tidak mengganggu mereka; dan berbuat ihsan kepada anak-anak yatim, dengan cara mengelola dan membina keadaan mereka dan harta mereka serta berbelas kasih kepada mereka. Juga berbuat ihsan kepada kaun dhu'afa (fakir dan miskin) dengan cara memberi sedekah dan bersikap ramah kepada mereka; berbuat ihsan kepada musafir, ramah kepada apa saja yang dimiliki, termasuk kepada hewan ternak sendiri. Ramah atau bersikap lembut itu lawan dari sikap kasar.

Ahlus Sunnah mencegah sikap membangga-banggakan diri, sombong dan zhalim. Maksud membangga-banggakan diri dan sombong adalah membangga-banggakan kehormatan dan kelebihan, seperti kedudukan dan keturunan. Zhalim artinya, penganiayaan terhadap orang lain dan melecehkannya, seperti mereka lebih mulia dari pada orang lain dan menganggap remeh mereka serta menyakiti mereka dengan haq ataupun tidak haq. Sebab, orang yang melecehkan orang lain dengan haq, maka ia telah berbangga diri; dan jika melecehkan dengan cara tidak haq maka ia telah berbuat zhalim. Kedua-duanya tidak boleh dilakukan.

Ahlus Sunnah sangat mengajak kepada akhlak yang mulia, yaitu akhlak yang terpuji dan melarang akhlak yang buruk dan rendahan.
Semua apa yang dikatakan dan dikerjakan oleh Ahlus Sunnah dan apa yang mereka perintahkan dan apa yang mereka larang sebagaimana tersebut diatas dan hal-hal yang tidak disebutkan, semuanya mereka ambil dari al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah a, mereka sama sekali tidak mengada-ada (melakukan bid'ah) dari sisi mereka sendiri dan tidak bertaklid kepada siapa-siapa, sebab Allah Subhanahu waTa’ala telah berfirman,
Artinya:"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri." (An-Nisa’: 36).
Hadits-hadits yang semakna dengan ayat di atas sangat banyak sekali, di antaranya adalah yang telah tersebut di atas.

Keunggulan Ahlus Sunnah wal jama'ah yang Teragung:
Yaitu bahwa jalan mereka adalah al-Islam. Islamlah madzhab dan jalan mereka menuju Allah Subhanahu waTa’ala di saat terjadi iftiraq (perpecahan) sebagaimana telah diberitakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. yang akan terjadi pada umat ini; mereka konsisten kepada Islam dan mereka menjadi golongan yang selamat (firqah Najiyah) di antara firqah-firqah yang ada, dan mereka pulalah jamaah yang konsisten berpegang teguh kepada ajaran yang dianut oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, yaitu Islam yang murni dari segala noda syirik dan bid'ah. Maka dari itu mereka berhak menyandang julukan "Ahlus Sunnah wal Jama'ah", dan di antara mereka ada orang-orang yang shiddiq yang benar-benar telah mencapai peringkat kejujuran dan keimanan, ada syuhada yang gugur di jalan Allah Subhanahu waTa’ala dan orang-orang shalih yang banyak mempunyai amal shalih. Di antara mereka juga ada yang sebagai tokoh-tokoh panutan, lentera terang di kegelapan malam yang mempunyai banyak kelebihan dan keunggulan.

Jadi, di dalam Ahlus Sunnah terdapat para tokoh ulama terkemuka yang mempunyai segala sifat terpuji, baik secara teori (ilmu) maupun amalan. Terdapat pemuka-pemuka agama di dalam Ahlus Sunnah, seperti empat tokoh panutan terkemuka (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi'i dan Imam Ahmad rahimahumullaah) berserta lain-lainnya. Merekalah golongan yang mendapat pertolongan Allah (ath-Tha'ifah al-Manshurah). Maksudnya: Ahlus Sunnahlah ath-Tha'ifah al-Manshurah yang disebut di dalam hadits, "Akan tetap ada segolongan dari umatku..." yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim.

Sumber:




      

Sabtu, 10 Desember 2011

Orang yang Masuk Surga Lantaran Menyingkirkan Sesuatu yang Mengganggu dari Jalan Kaum Muslimin

Pengantar
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan bahwa iman memiliki tujuh puluh lebih cabang, dan paling tinggi adalah ucapan, "Laa ilaaha illallah", sedangkan yang paling rendah adalah membuang sesuatu yang mengganggu dari jalan. Dalam kisah ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  menyampaikan tentang seorang laki-laki yang dimasukkan surga oleh Allah hanya karena dia menyingkirkan dahan berduri dari jalan kaum muslimin sehingga tidak mengganggu mereka.

Teks hadis
Bukhari Muslim meriwayatkan dalam Shahih keduanya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Ketika seorang laki-laki berjalan di satu jalan, dia melihat ranting berduri di jalan, lalu dia menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuninya."
Dalam sebagian riwayat Muslim dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Seorang laki-laki melewati sebuah cabang pohon di badan jalan. Dia berkata, 'Demi Allah, aku akan menyingkirkan ini dari kaum muslimin agar tidak menganggu mereka.' Maka dia dimasukkan Surga."
Dalam riwayat Muslim yang lain dari Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda, "Sungguh, aku telah melihat seorang laki-laki berguling-guling di surga hanya karena dia memotong dahan pohon di badan jalan yang menganggu manusia."
Takhrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shahihnya dalam kitabul Adzan, bab keutaman berangkat ke Zhuhur di awal waktu, 2/139, no.65; dalam kitabul Mazhalim, bab siapa yang mengambil dahan dan sesuatu yang menganggu orang-orang di jalan, lalu dia membuangnya, 5/118, no.2472.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dalam kitabul Bir Wash Shilah wal Adab, 4/2021, no. 1914; dan dalam kitabul Imarah, 3/1521, no. 1914.
Penjelasan Hadis
Hadis ini menjelaskan kisah seorang laki-laki yang sedang berjalan di satu jalan. Dia melihat dahan yang berduri bergelayut di jalan kaum muslimin, maka orang-orang yang lewat merasa tergangu. Dia bertekad untuk memotong dahan itu dan menjauhkannya dari jalan. Tujuannya sebagaimana yang secara nyata dikatakannya, adalah untuk menjauhkan sesuatu yang menganggu dari jalan kaum muslimin. Allah mengampuninya dan memasukkannya ke dalam surga-Nya. Rasulullah melihatnya sedang menikmati kemegahan surga dengan perbuatannya ini.
Laki-laki ini beramal sedikit dan meraih pahala besar. Rahmat Allah sangatlah luas dan karunia-Nya sangatlah agung. Apa yang dilakukan oleh orang ini dianjurkan oleh agama kita. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar kita melakukan seperti yang dilakukan oleh orang ini. Beliau bersabda, "Jauhkanlah sesuatu yang menganggu dari jalan kaum muslimin. (Albani dalam Silsilah Shahihah no. 2373. Menisbatkannya kepada Abu Bakar bin Abu Syaibah dalam Al-Adab, Abu Ya'la dalam Musnad, Ad-Dhiya dalam Al-Muntaqa. Muslim meriwayatkan dengan maknanya dan diriwayatkan oleh Ahmad). Beliau memberi peringatan keras agar tidak menganggu jalan kaum muslimin. Tentang hal ini beliau bersabda, "Barangsiapa menganggu kaum muslimin di jalan mereka, maka dia memperoleh laknat mereka." (Al-Bani menisbatkannya dalam Silsilah (5/732), no. 2294, kepada Thabrani Abu Nuaim dalam Akhbari Ashbahan, Abu BakAr Asy-Syafii dalam Musnad Musa bin Ja'far).
Banyak sekali dalil-dalil dalam bidang ini yang menunjukkan akhlak luhur sebagai ciri khas kaum muslimin yang beramal dengan Islam. Mereka berusaha membersihkan jalan-jalan mereka, tidak mengotori dan membuatnya jorok, serta membuang sesuatu yang menganggu darinya. Mereka menjadikannya sebagai tuntunan hidup, berharap darinya pahala tanpa bersikap secara berlebih-lebihan.
Pelajaran-Pelajaran dan Faedah-Faedah Hadis
  1. Penjelasan tentang keutamaan menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan kaum muslimin yang mengandung pahala besar dan agung.
  2. Luasnya rahmat Allah dan besarnya pahala-Nya. Allah membalas laki-laki ini dengan balasan yang besar, dengan memasukkannya ke surga lantaran amal yang sedikit, yaitu membuang sesuatu yang mengganggu dari jalan.
  3. Sejauh mana kaum muslimin menyelisihi ajaran-ajaran agama mereka. Sebagian tidak hanya tidak bersedia membuang sesuatu yang mengganggu dari jalan kaum muslimin, bahkan membuang sampah rumahnya dan sisa makanannya di jalan kaum muslimin.
  4. Pohon yang boleh ditebang adalah yang mengganggu kaum muslimin. Pohon yang berguna bagi kaum muslimin, seperti pohon yang dipakai untuk berteduh, tidak boleh ditebang. Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam mengancam penebangnya dengan api neraka. Dalam hadis, "Penebang bidara akan dibenamkan kepalanya oleh Allah di neraka." (Dinisbatkan oleh Al-Bani dalam Silsilah Shahihah (2/175), no. 615, kepada Baihaqi dan lain-lainnya).
Sumber

Kamis, 01 Desember 2011

Riwayat Panjang Berdirinya Ka'bah Dalam Perjalanan Islam

 Ka'bah berkali-kali rusak sehingga harus berkali-kali dibongkar sebelum dibangun kembali. Di Museum Haramain, benda-benda itu disimpan.

Ada kotak tempat menyimpan parfum yang dulu pernah mengisi ruangan Ka'bah. "Ruang Ka'bah isinya hanya tiga pilar dan kotak parfum itu,'' ujar Abdul Rahman, menunjuk pilar-pilar dan kotak yang letaknya berjauhan.

Petugas Museum Haramain di Ummul Joud, Makkah, itu mengantar kami keliling melihat koleksi museum. Museum ini menyimpan benda-benda dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Ada potongan pilar Ka'bah yang bentuknya sudah seperti kayu fosil berwarna cokelat tua, disimpan bersama kunci pintu Ka'bah dari kayu, juga berwarna cokelat tua. Pintu Ka'bah selalu dikunci dan pemegang kunci sudah turun-temurun dari satu keluarga, sejak sebelum Nabi lahir.

Tangga kuno yang pernah dipakai untuk masuk Ka'bah juga tersimpan di museum ini. Tersimpan pula pelapis Hajar Aswad serta pelapis dan pelindung Maqam Ibrahim. Jika orang-orang berebut mencium pelindung Maqam Ibrahim, seharusnya yang layak dicium adalah yang tersimpan di museum ini karena usianya lebih tua dari pelindung yang sekarang dipasang.
Namun, tak ada anjuran mencium Maqam Ibrahim. Nabi hanya memberi contoh mencium Hajar Aswad.

Kotak parfum Ka'bah yang disimpan di museum ini juga berwarna cokelat tua. Sewaktu masih difungsikan di dalam Ka'bah, botol-botol parfum yang dipakai untuk mengharumkan ruangan Ka'bah disimpan di kotak itu.

Riwayat Ka'bah

Ka'bah  awalnya dibangun oleh Adam dan kemudian anak Adam, Syist, melanjutkannya. Saat terjadi banjir Nabi Nuh, Ka'bah ikut musnah dan Allah memerintahkan Nabi Ibrahim membangun kembali. Al-Hafiz Imaduddin Ibnu Katsir mencatat riwayat itu berasal dari ahli kitab (Bani Israil), bukan dari Nabi Muhammad.

Ka'bah yang dibangun Ibrahim pernah rusak pada masa kekuasaan Kabilah Amaliq. Ka'bah dibangun kembali sesuai rancangan yang dibuat Ibrahim tanpa ada penambahan ataupun pengurangan. Saat dikuasai Kabilah Jurhum, Ka'bah juga mengalami kerusakan dan dibangun kembali dengan meninggikan fondasi. Pintu dibuat berdaun dua dan dikunci.

Di masa Qusai bin Kilab, Hajar Aswad sempat hilang diambil oleh anak-anak Mudhar bin Nizar dan ditanam di sebuah bukit. Qusai adalah orang pertama dari bangsa Quraisy yang mengelola Ka'bah selepas Nabi Ibrahim. Di masa Qusai ini, tinggi Ka'bah ditambah menjadi 25 hasta dan diberi atap. Setelah Hajar Aswad ditemukan, kemudian disimpan oleh Qusai, hingga masa Ka'bah dikuasai oleh Quraisy pada masa Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad membantu memasangkan Hajar Aswad itu pada tempat semestinya.

Dari masa Nabi Ibrahim hingga ke bangsa Quraisy terhitung ada 2.645 tahun. Pada masa Quraisy, ada perempuan yang membakar kemenyan untuk mengharumkan Ka'bah. Kiswah Ka'bah pun terbakar karenanya sehingga juga merusak bangunan Ka'bah. Kemudian, terjadi pula banjir yang juga menambah kerusakan Ka'bah. Peristiwa kebakaran ini yang diduga membuat warna Hajar Aswad yang semula putih permukaannya menjadi hitam.

Untuk membangun kembali Ka'bah, bangsa Quraisy membeli kayu bekas kapal yang terdampar di pelabuhan Jeddah, kapal milik bangsa Rum. Kayu kapal itu kemudian digunakan untuk atap Ka'bah dan tiga pilar Ka'bah. Pilar Ka'bah dari kayu kapal ini tercatat dipakai hingga 65 H. Potongan pilarnya tersimpan juga di museum.

Empat puluh sembilan tahun sepeninggal Nabi (yang wafat pada 632 Masehi atau tahun 11 Hijriah), Ka'bah juga terbakar. Kejadiannya saat tentara dari Syam menyerbu Makkah pada 681 Masehi, yaitu di masa penguasa Abdullah bin Az-Zubair, cucu Abu Bakar, yang berarti juga keponakan Aisyah.

Kebakaran pada masa ini mengakibatkan Hajar Aswad yang berdiameter 30 cm itu terpecah jadi tiga.

Untuk membangun kembali, seperti masa-masa sebelumnya, Ka'bah diruntuhkan terlebih dulu. Abdullah AzZubair membangun Ka'bah dengan dua pintu. Satu pintu dekat Hajar Aswad, satu pintu lagi dekat sudut Rukun Yamani, lurus dengan pintu dekat Hajar Aswad. Abdullah bin Az-Zubair memasang pecahan Hajar Aswad itu dengan diberi penahan perak. Yang terpasang sekarang adalah delapan pecahan kecil Hajar Aswad bercampur dengan bahan lilin, kasturi, dan ambar.
Jumlah pecahan Hajar Aswad diperkirakan mencapai 50 butir.

Pada 693 Masehi, Hajjaj bin Yusuf Ath-Taqafi berkirim surat ke Khalifah Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima dari Bani Umayyah yang mulai menjadi khalifah pada 692 Masehi), memberitahukan bahwa Abdullah bin Az-Zubair membuat dua pintu untuk Ka'bah dan memasukkan Hijir Ismail ke dalam bangunan Ka'bah.

Hajjaj ingin mengembalikan Ka'bah seperti di masa Quraisy; satu pintu dan Hijir Ismail berada di luar bangunan Ka'bah. Maka, oleh Hajjaj, pintu kedua--yang berada di sebelah barat dekat Rukun Yamani--ditutup kembali dan Hijir Ismail dikembalikan seperti semula, yakni berada di luar bangunan Ka'bah.

Akan tetapi, Khalifah Abdul Malik belakangan menyesal setelah mengetahui Ka'bah di masa Abdullah bin AzZubair dibangun berdasarkan hadis riwayat Aisyah. Di masa berikutnya, Khalifah Harun Al-Rasyid hendak mengembalikan bangunan Ka'bah serupa dengan yang dibangun Abdullah bin Az-Zubair karena sesuai dengan keinginan Nabi.
Namun, Imam Malik menasihatinya agar tidak menjadikan Ka'bah sebagai bangunan yang selalu diubah sesuai kehendak setiap pemimpin. Jika itu terjadi, menurut Imam Malik, akan hilang kehebatannya di hati kaum Mukmin.

Pada 1630 Masehi, Ka'bah rusak akibat diterjang banjir. Sultan Murad Khan IV membangun kembali, sesuai bangunan Hajjaj bin Yusuf hingga bertahan 400 tahun lamanya pada masa pemerintahan Sultan Abdul Abdul Aziz. Sultan inilah yang memulai proyek pertama pelebaran Masjidil Haram.

Replika mushaf di Museum ini tersimpan pula replika Quran mushaf Usmani yang bacaannya, susunan surah dan ayatnya, serta jumlah surah dan ayatnya dipakai sebagai panduan hingga sekarang. Yang berbeda cuma bentuk hurufnya.

Pada masa Khalifah Usman bin Affan (35 H) dibuatlah standardisasi penulisan Quran. Di masa itu, sahabatsahabat Nabi memiliki mushaf yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan surah dan ayat, maupun jumlah surah dan ayat.

Mushaf yang dimiliki Ibnu Mas'ud, misalnya, tidak menyertakan Surat AlFatihah dan susunan surat yang berbeda. Surah keenam bukanlah Surah Al-An'am, melainkan Surah Yunus.

Quran Ali bin Abi Thalib juga tak memiliki Surah Al-Fatihah. Ali juga tak memasukkan surah ke-13, 34, 66, dan 96 ke mushafnya. "Ukuran mushaf Usman yang asli berbeda dari yang ini. Ini hanya duplikat,'' ujar Abdul Rahman.

SUmber : Suara Media

Rabu, 23 November 2011

Sumber Sumber Pengambilan Akidah Islam

Secara garis besar , sumber pengambilan akidah islam  hanya dua, yaitu Alqur'an dan As Sunnah. Sebagaimana yang disepakati oleh para Ulama Salaf. Sebagian Kelompok sesat diluar Ahlus Sunnah Wal jamaah menjadikan akal sebagai dasar akidah, bahkan mendahulukannya atas Al Qur'an dan As Sunnah. padahal, akal hanya sebagai pelengkap saja. Dalam pembahasan kali ini, sumber sumber pengambilan akidah islam terbagi menjadi tiga bagian : Al Qur'an  , As Sunnah, dan akal sehat

Sumber Pertama: Al Qur'an 
Al Qur'an merupakan Urwatul Wutsqa (Tali Allah yang kokoh ) .  Al Qur'an adalah cahaya yang mampu menerangi kegelapan alam berpikir manusia . Di turunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W dengan bahasa arab yang jelas dan fasih. Ia juga berfungsi sebagai mu'jizat secara lafaz maupun maknanya, sekaligus gaya bahasanya.
Allah telah memudahkan Al Qur'an untuk dipahami bagi mereka yang mau mentadabburi ayat ayatnya
Dan  Sungguh kami memudahkan Al Qur'an  untuk pelajaran ( zikir). maka adakah yang mau mengambil pelajaran ? ( Q.S Al Qamar  : 17 ).

Sumber Kedua: As Sunnah

As Sunnah   merupakan sumber pengambilan yang  kedua dalam masalah  akidah islam. Substansi dan muatannya memiliki kesepadanan dengan Al Qur'an  sebagaimana Firman Allah S.W.T

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah, Sesengguhnya Allah amat berat siksanya. (  Q.S Al Hasyr : 7) 

Imam Syafi'i Rahimahumullah berkata bahawa semua kata dalam Al Qur'an bermakna As Sunnah. pendapat ini banyak didukung oleh kebanyakan ulama.
As Sunnah merupakan tafsir bagi  ayat ayat Al Qur'an  yang masih bersifat Najmul dan Umum.  hukum hukum yang terdapat pada  Al Qur'an  yang belum terperinci telah dijelaskan secara detail dalam ASs Sunnah sehingga ayat itu menjadi jelas dan gamblang serta  mudah dipahami.

Sumber Ketiga : Akal Sehat
Secara bahasa akal merupakan kebijaksanaan atau tindaakan yang bijak dan tepat. Sedangkan secara istilah  pengertian akal terbagi menjadi dua


Ilmu Dharuri atau pengetahuan dasar manusia secara aksioma aksioma rasional.
Persiapan yang bersifat Instrintik dan matang.
Akal Merupakan instink yang Allah berikan kepada setiap manusia yang diberi muatan tertentu berupa kemampauan dan keinginan untuk melakukan sejumlah aktivitas dan berguna bagi kehidupan manusia.
kaitannya dengan akal  sebagai salah satu sumber atau bagian dari pengambilan akidah islam, maka ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan, diantaranya


1. Syariat Islam harus didahulukan daripada akal. karena Syari'at bersifat ma'shum ( terbebas dari kesalahan )   sedangkan akal tidak ma'shum
2. Apa yang benar menurut akal sehat , pasti tidak bertentangan dengan hukum  Syari'at. jika pemikiran akal sehat bertentangan dengan  dalil, maka kemungkinannya ada dua akal pemikiran tersebut yang salah atau dalil hadits tersebut yang tidak shahih.


Sumber : Mizanul Muslim Halaman 81-85, Cordova Mediatama