Sabtu, 04 Juni 2011

Pengertian dan Pembagian Bid’ah


Menurut bahasa, bid’ah adalah “mengada-adakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.” Di antara dalil yang mendasari pengertian ini adalah firman Allah:

“Allah Pencipta langit dan bumi, ...” [QS. Al-Baqarah: 117]

Maksudnya: Dialah (Allah) yang mengadakan keduanya tanpa ada contoh yang mendahuluinya (sebelumnya). Juga firman Allah:
Katakanlah: "aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul... ".[QS. Al-Ahqaaf: 9]

Maksudnya: aku bukanlah rasul pertama yang diutus kepada penduduk bumi. Jika dikatakan: “fulan mengadakan suatu bid’ah”, maka maknanya adalah “fulan mengadakan suatu jalan yang tidak ada yang mendahuluinya.” Dengan demikian berdasarkan pengertian secara bahasa, bid’ah bisa terjadi di dalam perkara dunia juga dalam perkara agama.
                Adapun menurut syariat Islam, bid’ah adalah “suatu jalan yang diada-adakan di dalam Din yang menyerupai syari’at, yang tujuan menempuhnya adalah bersungguh-sungguh di dalam beribadah kepada Allah.”
Pembagian Bid’ah
Di antara pembagian bid’ah adalah yang disebutkan oleh para ulama meliputi bid’ah hakikiyah dan bid’ah idhofiyah.
Ä Bid’ah hakikiyah adalah bid’ah yang sama sekali tidak didasari oleh dalil syar’i dari Kitabullah, sunnah Rasulullah ataupun ijma’ (kesepakatan ulama).
Di antara contohnya adalah mengharamkan yang halal (misalnya mengharamkan diri untuk makan makanan tertentu yang halal seperti daging, dan sebagainya; atau mengharamkan pakaian tertentu yang Allah bolehkan, atau mengharamkan diri untuk menikah padahal Allah  telah berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Maaidah ayat 87 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu ...”, dan menghalalkan yang haram (misalnya menghalalkan berzina, minum-minuman keras/khomar, makan daging babi, riba, dan sebagainya).
Imam Bukhori  meriwayatkan dari Qois bin Abi Hazim , ia berkata: “Abu Bakar  bertemu dengan seorang wanita  dari bani Ahmas yang bernama Zainab. Beliau  melihat wanita tersebut tidak mau berbicara, maka Beliau bertanya: “Mengapa tidak mau berbicara?” Para shohabat Beliau berkata: “Dia berhajat untuk diam” – Maka Abu Bakar  berkata kepada wanita tersebut: “ Berbicaralah, karena hal ini (berhajat untuk diam) tidak halal, ini adalah amalan jahiliah.” Wanita itupun berbicara  dan bertanya: “Siapa engkau?” Abu Bakar  Menjawab: “Aku adalah salah seorang Muhajirin.”
Contoh lainnya adalah mengada-adakan ibadah yang Allah  tidak turunkan keterangannya, seperti sholat dengan dua kali ruku’ pada setiap rakaat, atau sholat tanpa wudhu, atau mengingkari berhujjah dengan As-Sunnah (Ingkarus Sunnah), atau sholat dengan menggunakan dua bahasa (bahasa Arab dan bahasa daerah setempat), atau mendahulukan akal di atas naql (dalil). Dan juga contoh lainnya adalah mengatakan bahwa orang-orang yang telah mencapai tingkat pemurnian tertentu telah terangkat beban syari’at darinya (tidak dibebani lagi syari’at), maka ia sdah tidak wajib lagi melakukan amalan-amalan ketaatan dan tidak diharamkan lagi atasnya segala perakara yang haram di dalam syari’at; urusannya berjalan sesuai dengan keinginan hawa nafsu dan kepuasan syahwatnya sebagaimana hal ini diyakini oleh sebagian tokoh thariqat Shufiyyah.


Ä Bid’ah Idhofiyah, asalnya ia memiliki dalil (disyari’atkan) namun pada sisi tata cara pelaksanaan, keadaan atau detailnya (perinciannya) ia tidak memiliki dasar (dalil) tetapi semata-mata dimasukkan atau diada-adakan oleh seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah) sehingga keluar dari asal pensyari’atannya.
Misalnya mengkhususkan hari-hari yang utama untuk melakukan ibadah-ibadah tertentu, seperti sholat, sedekah dan sebagainya yang tidak ada pengkhususannya di dalam syari’at. Misal lainnya: menetapkan pelaksanaan sholat-sholat sunat secara berjamaah di masjid selain sholat Tarawih di bulan Romadhon, atau berdzikir dengan menetapkan cara dan keadaan atau waktu tertentu didalam pelaksanaannya yang tidak ada dasar penetapannya di dalam syari’at Islam.
Disebutkan dalam kisah yang masyhur dan shohih dari Ibnu Mas’ud  bahwasannya tatkala dia melewati masjid yang di dalamnya terdapat suatu kaum yang sedang duduk melingkar seraya bertakbir (100x), bertahlil (100x) dan bertasbih (100x) dengan cara/sifat yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullahdan para shohabatnya maka dia (Ibnu Mas’ud ) berkata kepada mereka dalam rangka mengingkari perbuatan mereka:
“Hitunglah kejelekan-kejelekan kalian niscaya aku menjamin bahwasannya tidak akan sia-sia amal baik kalian sedikitpun. Celakalah kalian wahai umat Muhammad! Alangkah cepatnya kalian binasa! Sementara para shohabat Nabi kalian masih banyak yang hidup, baju Beliaubelum usang, bejana-bejana Beliau belum pecah, demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, apakah kalian sungguh merasa di atas agama yang lebih sesuai petunjuk daripada agama Muhammad, atau kalian hendak membuka pintu kesesatan? Mereka berkata: “Demi Allah  wahai Abu Abdirrohman (Ibnu Mas’ud ), kami tidak menginginkan kecuali kebaikan”. Ibnu Mas’ud  pun berkata: “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun dia tidak memperolehnya.” [Riwayat Imam Ad-Darimi dalam Sunannya (١/٦٨٦٩) dishohhkan Al Albaniy  dalam Silsilah Ash Shohihah (No. 2005) ].

                Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa setiap ibadah harus memiliki dasar pensyari’atan dan tata cara, keadaan atau waktu serta perinciannya harus sesuai dengan tuntunan syar’at, jika tidak maka ia tergolong bid’ah.


Sumber: Booklet dakwah Al Ilmu Kendari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar